SEMANTIK
A. Semantik
1. Pengertian Semantik
Istilah semantik dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Inggris semantics, yang asalnya dari bahasa Yunani,
asal kata sema (nomina) yang berarti ‘tanda’; atau semaino (verba)
yang berarti ‘menandai’ atau ‘berarti’.
Verhaar (1999: 385) mengemukakan bahwa semantik adalah cabang linguistik
yang meneliti arti atau makna yang terbagi lagi menjadi semantik gramatikal dan
semantik leksikal. George (1964:1) Mengatakan bahwa semantik adalah telaah mengenai
makna. Semantik
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah
sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen
semantik ini. (Chomsky;1965).
Dari pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa semantic adalah tataran bahasa yang mengkaji tentang makna bagian
internal kata, kalimat atau sebuah wacana.
2. Jenis-jenis Semantik
Sebelum mengelompokkan jenis-jenis
semantik, kita harus melihat objek studi semantik. Karena kita telah memiliki
keyakinan bahwa semantik adalah ilmu yang mengkaji makna bahasa, yang menjadi
objek semantik adalah makna bahasa atau makna dari satuan-satuan bahasa, seperti
kata, frasa, klausa, kalimat,
dan wacana. Kalau yang menjadi objek penyelidikannya atau pengkajiannya wacana,
jenis semantiknya disebut semantik
wacana.
a.
Semantik
Wacana →objek kajian makna wacana
Contoh: Bandingkan kedua wacana dibawah ini!
Wacana
A
Tidak banyak makhluk hidup yang bisa
bertahan di arus deras hulu sungai dengan air terjun dan jeramnya. Ikan tidak
dapat menghadapi kecepatan arus air dan pusaran air. Salmon pasifik tidak takut
pada arus deras sungai.
Wacana
B
Tidak banyak makhluk hidup; yang bisa
bertahan di arus deras hulu sungai dengn
air terjun dan jeramnya. Umumnya ikan tidak dapat menghadapi kecepatan arus air
dan pusaran air sehingga mereka lebih senang tinggal didaerah hilir yang
arusnya tenang. Salah satu ikan yang tidak takut pada arus deras sungai adalah
ikan salmon pasifik.
Agak sulit bagi kita untuk memaknai
wacana A karena wacana itu hanya berupa rangkaian kalimat-kalimat lepas yang
tidak berhubungan secara logis. Ada rangkaian kalimat yang bertolak belakang.
Kalimat “ikan tidak mampu menghadapi kecepatan air.” Bertolak belakang dengan
kalimat “salmon tidak takut pada arus air.” Oleh karena itu, kita harus
memperbaiki kalimat itu untuk membentuk kesatuan makna wacana yang runtun dan
logis. Wacana B merupakan hasil perbaikan wacana A. Kalimat-kalimat dalam
wacana B saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga membentuk satu
kesatuan makna yang utuh dan logis.
b.
Semantik Gramatikal → makna-makna gramatikal (morfologi dan
sintaksis)
Contoh: Sepatu → pembungkus
kaki yang terbuat dari kulit atau karet
Bersepatu →
memakai sepatu
Konteks sintaksis
¨
Konteks Frasa. Contoh: - gadis → wanita muda yang belum menikah
-
gadis cantik → wanita muda yang belum menikah berwajah cantik
¨
Konteks Sintaksis. Contoh: -Di kebun binatang Bandung ada lima ekor
beruang
-Hanya orang yang beruang yang mampu
membeli mobil mewah itu
c.
Semantik Leksikal → leksikon yang belum dimasukkan ke dalam konteks
gramatika (morfologi atau
sintasis)
Contoh: amanat → pesan
atau wejangan
campur → berkumpul menjadi satu
dekat → pendek, tidak jauh
ganggu → goda, usik
B. Makna
1. Pengertian Makna
Menurut Djajasudarma (1993: 5), makna adalah
pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama
kata-kata), sedangkan menurut Palmer (1976: 30), makna hanya menyangkut unsur
intrabahasa. Sementara, Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji atau
memberikan makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan
dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari
kata-kata lain. Dalam hal ini, menyangkut makna leksikal dari katakata itu
sendiri yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem (dalam
Djajasudarma,1993).
2. Aspek Makna
Aspek makna menurut Palmer (1976)
berdasarkan fungsinya terdiri dari empat aspek, yaitu:
a.
sense ‘pengertian’
Makna
sense ‘pengertian’ dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari
yang melibatkan apa yang disebut dengan tema. Makna feeling ‘perasaan’, tone
‘nada’, dan intension ‘tujuan’ dapat kita pertimbangkan dalam
pemakaian bahasa sehari-hari, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Aspek
makna sense ‘pengertian’ ini dapat dicapai apabila antara pembicara/
penulis dan kawan bicara atau pembaca berbahasa sama. Makna pengertian disebut
juga dengan tema, yang melibatkan ide atau pesan yang dimaksud dalam sebuah
pembicaraan.
b.
feeling ‘perasaan’
Aspek
makna feeling ‘perasaan’ berhubungan dengan sikap pembicara dan situasi
pembicaraan. Di dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan
perasaan (sedih, panas, dingin, gembira, senang, jengkel, bosan, dsb.).
pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut
digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasi pada saat pembicaraan
berlangsung.
c.
tone ‘nada’
Aspek
makna tone ‘nada’ adalah an attitude to his listener (‘sikap
pembicara terhadap kawan bicara’) atau sikap penulis terhadap pembaca. Aspek
makna nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan
keadaan kawan bicara dan pembicara sendiri. Hubungan pembicara dengan pendengar
(kawan bicara) akan menentuka sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata yang
akan digunakan, pemilihan kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam
pembicaraan. Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan aspek makna perasaan,
misalnya, bila kita sedang jengkel maka sikap kita akan berlainan dengan
perasaan bergembira terhadap kawan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek
makna nada dengan meninggi, berlainan dengan aspek makna yang digunakan bila
kita memerlukan sesuatu, maka akan mempergunakan aspek makna nada yang
beriba-iba dengan nada merata atau merendah.
d.
intension ‘tujuan’
Aspek
makna intension ‘tujuan’ ini adalah his aim, conscious or
unconscious, the effect he is endeavouring to promote (‘tujuan atau maksud,
baik disadari maupun tidak, akibat usaha dari peningkatan’). Aspek makna
tujuan yang kita ungkapkan pasti memiliki tujuan tertentu. Misalnya, bertujuan
supaya kawan bicara kita mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan
oleh kita.
3. Jenis Makna
a. Makna Laksikal dan Makna Garamatikal
Laksikal
adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk leksikon (vokabuler,kosa kata, pembendaharaan kata). Satuan
dari leksikon adalah laksem, yaitu
satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kaloa leksiokon kita samakan dengan kosa
kata atau pembendaharaan kata , maka laksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikina, makna laksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat laksikon, bersifat laksem, atau bersifat kata. Lalau, karena itu dapat pula dikatakan
makna laksikal adalah makana yang
sesuai dengan referennya, makna yang seduai dengan hasil observasi alat indra,
atau makan yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna laksikalnya adalah sebangsa
binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus.
Kata dalam bahasa Indonesia tidak
semuanya bermakna leksikal. Kata-kata yang dalam garamatikal disebut kata penuh
(full word) seperti kata meja, tidur, dan cantik memang memiliki makna leksikal, tetapi yang disebut kata
tugas (function word) seperti kata dan, dalam, dan kerena tidak memiliki makna leksikal. Dalam gramatikal kata-kata
tersebut dianggap hanya memiliki tugas gramatikal.
Makna leksikal biasanya
dipertentangkan atau dioposisikan dengan
makna gramatikal. Kalu makna leksikal itu berkenaan dengan makna laksem atau kata yang sesuai
referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses granatika seperti proses afeksi, proses reduplikasi, dan proses
komposisi. Proses afiksasi awalan ter –
pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik melahirkan makna ‘dapat’, dan dalam kalimat ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat keatas melahirkan makan gramatikal ‘tidak sengaja.’
Makna garamatikal itu
bermacam-macam. Setiap bahasa mempunyai sarana atau gramatikal tertentu untuk
menyatakan makna-makan, atau nuansa-nuansa makan gramatikal itu. Untuk
menyatakan makan ‘jamak’ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi
seperti kata buku yang bermakan ‘sebuah buku’menjadi buku-buku yang bermakna
‘banayk buku’.
Dalam bahasa Indonesia
bentuk-bentuk kesedihan, ketakutan, kegembi-raan dan kesenangan memiliki makna
garamatikal yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasar.tetapi dalam bentuk
atau kata kemaluan yang yang bentuk gramatikalnya sama dengan deretan kata
diatas, memiliki makan yanglain
b. Makna
Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makan
referensi dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referensi dari
kata-kata itu.bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluer bahasa
yang diacau oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna
nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk
kata yang bermakna referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis
perabot rumah tangga yang disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai
referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna
nonreferensial.
Dapat disimak bahwa
kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah disebutkan dimuka,
adalah termasuk kata-kata yang bermakan referensial; dan yang termasuk kelas
kata tugas seperti proposisi dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata
bermakna nonreferensial.
Di sini perlu dicatat adanya
kata-kata yang referennya tidak tetap. Dsapat perpindah dari satu rujukan
kepada rujukan lain, atau jiga dapat nerubah ukurannya. Kata-kata yang seperti
ini disebut kata-kata diktis. Misalnya kata ganti aku dan kamu. Kedua kata ini
(dan juga kata ganti yang lain) memiliki rujukan yang berpindah –pindah, dari
persona yang satu kepersona yang lain. Contoh lain, perhatikan referen kata di sini dalam ketiga kalimat berikut !
- Tadi dia duduk disini
- ”Hujan terjadi hamper setiap hari disini”, kata walikota Bogor.
- Di sini, di Indonesia, hal seperti itu sering terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar